Citarasa Asin di Negara Demokrasi


Gambar ilustrasi. (Sumber Pixabay)


Oeh: Hasbi Indra

NSP | Opini - Citarasa asin masih menguasai langit Indonesia. Citarasa demokrasi yang ditandai tak boleh kritis, ini terasa bak di negeri terali besi. Negara terali besi pemegang hak tunggal kuasa mereka memiliki politburo untuk menghukum pihak yang kritis. Di negara yang mengkamuflase demokrasi tak berani menyebut diri negeri terali besi. Di tengah rasa itu masih ada manusia di negeri ini dalam puluhan juta miskin atau sering disebut wong cilik.

Bergembira mendengar pernah ada partai yang menyebut dirinya berpihak dengan istilah-istilah itu. Seharusnya menjadi bagian utama mendirikan atmosfir demokrasi yang sehat. Seharusnya menjadi pihak yang keras menentang penangkapan kaum kritis kecuali untuk mereka yang ingin merubah ideologi negara. Ini pun tak perlu dilakukan apabila  masih ada  partai yang tak serek sepenuhnya akan sila pancasila yang telah disepakati pendiri bangsa.

Bernegara dan berbangsa tidak cukup hanya supaya partai bisa hadir di negeri Pancasila tetapi hadir dengan menopang ideologi itu sepenuhnya dan juga ke konstitusi negara. 

Cita konstitusi itu yang diberikan ke kadernya dan juga ke rakyat, untuk itu partai ada dan demokrasi ada. Demokrasi bukan hanya  untuk mengantarkan fungsionarisnya hidup mewah dan membuatkan jutaan rakyat belum merdeka tak merdeka karena masih jutaan dalam cenkeram kemuskinan dan pengangguran. Demokrasi bukan untuk menikmati adanya penderitaan rakyat itu.

Rakyat yang jumlahnya ratusan juta yang umumnya masih wong cilik telah membesarkan suatu partai ini hutang yang harus dibayar dan ini seharusnya menjadi agenda utamanya bukan agenda yang lain.

Agenda berbangsa untuk hal itu bukan agenda ingin merubah hal yang sudah disepakati berfikirlah lebih maju jangan bangsa diajak hanya berkisar masalah ideologi. Partai itu ada untuk mengisi ideologi bukan menyoal isi ideologi.

Saatnya partai untuk bersikap Jantan dengan nama yang dimiliki jangan sampai orang yang tak berpartai malah memiliki kesadaran pentingnya berdemokrasi utuh atau sepenuhnya  bagi negeri ini bukan demokrasi gincu.  

Demokrasi harus disyukuri bila tak ada demokrasi tak ada partai tak ada keistimewaan untuk menjadi ketua partai atau sekjen partai. Dengan demokrasi hanya diri yang menikmatinya sehingga hidupnya mewah mobil mewah dan berumah mewah.

Demokrasi jangan dijadikan alat untuk kendaraan hidupnya dan melupakan nama partainya dan siapa yang membesarkannya tanpa rakyat tak ada partai dan bahkan tak ada orang miskin atau tak ada wong cilik tak ada partai yang besar.

Kembali menjadi manusia yang memiliki hatinurani dan akal sehat dan jangan selamanya sebagai manusia tak memiliki hal itu. Kembali ke kesadaran untuk berterima kasih pada demokrasi yang telah memberi kenikmatan padanya dan juga berterima kasih pada mereka wong cilik bagian dari yang mensukseskan demokrasi dan membuat partai menjadi besar.

Tulisan ini semoga bisa dianggap jurubicara pentingnya demokrasi utuh dan pentingnya berpihak ke nasib rakyat. Janganlah demokrasi dikhianati. Demokrasi yang mengenal ada perbedaan ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, ada ruang untuk berbeda pendapat ada ruang menerima kritik. Demokrasi manusia modern bukan membuka atmosfir ketakutan yang melanda rakyat, ini namanya demokrasi ala gandruwo hanya demokrasi kulit, demokrasi semu yang dianut oleh manusia yang hidup di negara terali besi. 

Partai mendapat hikmah dari demokrasi menyebut dirinya hal itu aib baginya apabila atmosfir ketakutan masih melanda rakyat. Bila sejarah mencatat ada partai yang menyebut dirinya berbasis wong cilik rasanya ini jangan hanya dijadikan slogan atau jargon namun baiknya menjadi citarasa manusianya di partai itu. 

Tak perlu menurunkan kwalitas hidupnya atau berpenampilan seperti mereka, tapi cukup melalui kuasa atau kebijakan yang bisa menolong nasib mereka. Mereka tak perlu ditangisi dengan air mata ketika ada kebijakan yang tak berpihak ke mereka tapi cukup melihat rumahnya, mobilnya yang mewah patut dibalas ke mereka dengan kebijakan yang membantunya. Berjalanlah di demokrasi di negara demokrasi bukan di negara terali besi.

Penulis Akademisi di UIKA Bogor.